Jika Anda kebetulan berwisata ke
Bromo, dan mampir ke Yoschi’s Hotel, sempatkanlah melongok perpustakan mini di
depan resepsionis dan pinjamlah tiga bendel file dari rak buku. Bendel
itu berisi puluhan lembar kertas dalam folder-folder plastik berisi informasi
wisata, ditulis tangan oleh wisatawan asing yang pernah mengunjungi Yoschi’s
Hotel antara tahun dari tahun 1990 sampai sekarang. Dari koleksi tulisan itu
orang bisa beroleh berbagai informasi tempat wisata, penginapan, rumah makan,
transpor dan macam-macam atraksi wisata di Indonesia, termasuk juga
tempat-tempat yang perlu dihindari dan individu-individu pelaku bisnis wisata
yang perlu dijauhi. Konon koleksi informasi itu digagas oleh Uschi, panggilan
Ursel Newiger, perempuan asal Jerman yang menikah dengan Yoyok, asal
Probolinggo, pemilik Yoschi’s Hotel. Wisatawan yang umumnya backpackers (ini istilah untuk wisatawan dengan low-budget,
yang memilih berwisata dengan cara murah), yang menginap di Yoschi’s diminta
menulis pengalaman mereka berwisata di Indonesia. Per item tulisan mendapatkan
imbalan segelas free wine.
Informasi
wisata itu kebanyakan ditulis dalam Bahasa Inggris, sebagian dalam Bahasa
Jerman, dan sebagian kecil lagi dalam Bahasa Prancis, Spanyol, Italia dan
Jepang. Tidak semua tulisan berbahasa Inggris dibuat oleh penutur bahasa
Inggris. Jadi Anda boleh senyum-senyum kalau kebetulan menjumpai kalimat
seperti ini ‘because the sun is very warm, you should carry a head.
Warm tentu saja maksudnya ‘hot’ dan ‘head’ mestinya ‘hat’.
Sebagai sebuah kumpulan pernik-pernik
informasi, bisa dibilang koleksi itu amat bermanfaat bagi wisatawan lain yang
berencana melancong ke tempat yang sama. “Bukit Lawang sungguh fantastis.
Selain menyaksikan orangutan, kita juga mengikuti jungle-trek di kawasan Suaka
Alam dengan seorang pemandu, melintasi medan alam yang menantang, menyeberangi
sungai, bertemu dengan berbagai binatang, dan kita bisa menghilir di sungai
berair deras dengan pelampung. Makanan di warung-warung setempat juga luar
biasa, sepiring penuh dan harganya murah,” demikian informasi ringan yang
bisa ditemukan dari sekitar empat item catatan perjalanan ke Sumatera.
Orang juga bisa berterimakasih pada informasi
penting seperti ini. “Dalam perjalanan ke
Gunung Semeru, pastikan Anda mengambil air di danau Ranu Pani. Jangan minum air
dari danau Ranu Kumbolo, kata orang airnya beracun. Kemudian, mendekati puncak
Gunung Semeru, waspadai arah angin. Kalau angin bertiup dari utara, timur-laut,
barat-laut atau timur, itu tak masalah. Bila dari arah lainnya, Anda bisa kena
gas beracun”.
Tulisan kadang dilengkapi pula dengan peta
lokasi (digambar dengan tangan), kartu nama penginapan, restauran atau gerai
seni. Kathleen Huntington asal San Francisco malah menghiasi peta wisata route
Bromo-Solo hasil karyanya dengan pensil warna dan keterangan sangat informatif
tentang jarak tempuh, dan nama-nama tempat yang layak dikunjungi, dan diberinya
judul ‘Volcano Lover’s Scenic Route From Yoschi’s to Solo”
Selain dimanfaatkan oleh tamu Yoschi’s sebagai
informasi antisipatif untuk tempat-tempat yang akan mereka kunjungi, item-item
informasi yang sudah ada sering pula ditimpa dengan komentar lain yang nadanya
membenarkan, mengkoreksi, meng-update, atau menambah. Lihat saja, di salah satu
halaman, seorang wisatawan menulis bahwa sebuah penginapan di Bogor tidak
pernah mengisi termos air panas di kamar hotel mereka. Lalu di dekat tulisan
itu ada tulisan lain berbunyi, “that’s not true. It was always filled
during our 4-day stay there”. Contoh lain, di dekat sebuah tulisan yang
berbunyi ‘Ini penginapan murah dan orang-orangnya ramah-ramah’,
terdapat tulisan “benar, tapi tempat tidurnya banyak kutu dan tikus-tikus
seukuran kucing berseliweran di depan kamar”
Mungkin koleksi
informasi wisata itu cuma berfaedah bagi pelancong, tapi bila dicermati, untuk
kita, kumpulan informasi itu bisa menjadi semacam cermin wajah pariwisata
Indonesia sebenarnya. Ada plus-minus yang bisa dievaluasi oleh pelaku industri
pariwisata, badan pemerintah urusan pariwisata, dan ada petunjuk-petunjuk untuk
menggali peluang-peluang baru dalam industri pariwisata Indonesia.
Lokawisata Eksotis
Sebagian besar informasi wisata itu
melukiskan Indonesia sebagai sebuah lokawisata yang kaya warna, eksotis, enticing,
fascinating, inviting. Saskia asal Jerman, dalam dua halaman padat berkisah
tentang perjalanan kaki sendirian dari desa Ngadisari (Probolinggo) ke puncak
Gunung Semeru, melintasi lautan pasir Tengger. Di tengah perjalanan ia bertemu
seorang perempuan asal Swiss berumur 76 tahun. Ia sedang termangu-mangu
memandangi hamparan pemandangan Pegunungan Tengger dengan laut pasirnya dari
ketinggian. Sesekali Saskia juga bertemu dengan rombongan anak muda berkemah.
Mereka kemudian berbagi makanan, sebentar melayani anak-anak itu latihan
berbahasa Inggris dan berfoto.
Mencari pengalaman ke tempat-tempat
baru merupakan hal paling dicari wisatawan asing. Nicole dari Switzerland,
dengan penuh semangat menuliskan pengalaman 4 hari trekking di pedalaman
di sekitar Bukittinggi. “Senang sekali bisa melakukan perjalanan ke desa,
melihat cara orang memasak, ikutan memetik padi di sawah, dan yang terpenting,
menyaksikan langsung kehidupan desa seperti apa adanya, bukan sebagai tontonan
yang dipersiapkan untuk turis”. Jurgen dan Armin asal Jerman lain lagi.
Mereka rela mengikuti program hiking dan climbing 10 hari di pedalaman Sumatera
untuk ‘bertemu’ dengan berbagai macam binatang dan tumbuhan tropis. Dalam
catatannya tertulis mereka harus berjalan dengan tembakau yang disumpalkan di
kos kaki agar tidak digerogoti lintah, naik turun gunung dan lembah, dan
semuanya menyenangkan.
Bisa dimengerti kalau wisatawan
asing terpukau pada sisi-sisi elok Indonesia di luar yang ditulis di buku-buku
panduan wisata. Catherine dan Gerry dari Irlandia, seusai berwisata di Sumatera
Utara, meneruskan perjalanan mengikuti kata hati ke selatan dan sampai di
Painan (Sumatera Barat). Mereka mengatakan Painan adalah sebuah desa kecil di
pinggir pantai. Dari pantai, oleh nelayan setempat mereka diantar ke
pulau-pulau di sekitarnya dan sempat membuat foto reruntuhan bangunan dan
kuburan orang-orang Portugis, dan mereka bilang ini perjalanan yang extraordinary.
Margriet dan Willem dari Belanda,
naik ferry dari Padang ke Pulau Siberut dan mengikuti trekking selama 10 hari
menjelajah pedalaman pulau Siberut melintasi jalan berlumpur, sungai,
perbukitan, mandi di air terjun dan tinggal dengan orang-orang Mentawai. “Mandi
di bawah air terjun yang sejuk luar biasa asyiknya,” komentar mereka.
Makanan Dan Penginapan
Mengeksplorasi makanan tradisional
Indonesia juga merupakan agenda tersendiri bagi wisatawan asing. “Gado-gado
di Sosrowijawan, rasanya selangit, paling top sedunia,” tulis Jim dari
Inggris yang baru saja berwisata di Jogja. Eden Inn di Bukit Lawang,
misalnya mendapatkan nama harum karena fruit salad-nya yang dinilai
wisatawan asing sebagai ‘kolosal’.
“Pisang goreng di homestay Pak
Tasrip di Ranu Pani, kaki Gunung Semeru tak terbayangkan lezatnya. The best in
Indonesia,” tulis Vera Reusen dari Antwerpen, Belgia.
Soal penginapan, sebenarnya selera
wisatawan backpackers tak serumit yang diperkirakan. Mereka cuma butuh
kamar tidur bersih, suasananya tenang, lingkungannya baik, dan orang-orang di
sekitarnya ramah dan tak segan membantu.
“Menginaplah di Dewi Inn, kamar
mandinya bau deterjen, tidak pesing, dan bebas kecoa,” tulis seorang
wisawatan.
“Kalau ke
Lombok, hindarilah P Bungalows. Ini benar-benar penginapan jorok. Lima orang
wisatawan kena radang mata dalam sehari karena kamar mandinya kotor. Dan musik
disetel keras-keras sampai jam dua malam,” keluh Cathie Matthews, single
female traveller dari Australia, mencoba mengingatkan wisatawan lain untuk
berhati-hati memilih penginapan.
“Di Ubud, tinggallah di
homestay-homestay yang berdiri di tengah sawah. Benar-benar bersuasana alam
tiada duanya, damai dan sejuk, pemandangannya luar biasa indah,” demikian
Ulrika asal Swedia. “Hanya saja, Anda perlu bawa cairan anti mozzies (ini
plesetan baru untuk kata ‘mosquitoes’) kalau tidak ingin menjadi donor darah
semalaman”
Pelaku Bisnis Pariwisata
Rasa aman selama berwisata
mendapatkan porsi catatan cukup besar dalam koleksi informasi wisata itu.. Rasa
aman itu mencakup aman dari gangguan kejahatan, gangguan pengelola wisata,
orang-orang di sekitar tempat wisata, dari wisatawan lokal.
Kejahatan, berdasarkan catatan
mereka, tak banyak dialami, kecuali satu wisawatan yang arlojinya disambar
orang hanya dalam waktu sepuluh detik di atas bis kota yang padat di Jakarta.
Yang paling menganggu justru adalah pengelola wisata (pemandu wisata, pengelola
hotel, supir angkutan umum, dan orang-orang yang mencari keuntungan sesaat dari
wisatawan). ‘Hotel R di Makasar benar-benar rip-off (brengsek). Waktu
check-in dia bilang tarif kamar Rp 150.000, waktu check-out kami dikenakan Rp
200.000, dan dia menahan barang bawaan kami waktu kami menolak membayar
kelebihan itu,” ujar wisatawan yang tidak menuliskan identtas itu.
“Kalau ke Medan hati-hatilah
dengan pemandu wisawata bernama J. Dia suka membuat cewek-cewek bule teler dengan
minuman keras dan mengajaknya tidur,” tulis Sabine asal Belgia, yang
dibenarkan oleh beberapa tulisan lain mengenai orang bernama J dengan
penginapannya ‘J Hotel and Restaurant’. Begitu notorious-nya si J ini di
mata wisawatan asing sampai ketika ia sudah mengubah nama hotelnya menjadi ‘K
Palace’, wisatawan tetap tahu ulahnya, dan kartu nama ‘K Palace’ yang tertempel
di koleksi informasi wisata itu penuh caci-maki macam ‘a rip-off, fucker,
rapist, bastard’
“Di
Jogja, hati-hati dengan seorang pemuda yang pura-pura jadi mahasiswa seni dan
menawarkan lukisan. Kami dibujuknya membeli lukisan seharga Rp 400.000 padahal
di toko seni barang itu cuma Rp 100.000. Bangsat benar dia itu.’ maki
seorang wisawatan melalui tulisannya. Tulisan-tulisan dengan nada serupa banyak
pula dalam info wisata itu. Misalnya turis yang dipepet seorang pemuda yang
berbisik dengan gaya sembunyi-sembunyi bahwa ia bisa memberi potongan harga
untuk sepotong batik di tempatnya sampai 20%. Setelah membeli, barulah
wisatawan tahu batik seperti itu bisa didapatkan dengan harga lebih murah 80%
daripada uang yang baru saja ia keluarkan.
Ketidakpastian
yang sengaja ditebarkan oleh oknum-oknum pelaku bisnis pariwisata untuk
kepentingan sendiri telah menyumbangkan nilai negatif pada sisi pelayanan. Dan
ini terjadi hampir di segala penjuru lokawisata di Indonesia sebagai buah
persaingan yang tidak sehat.
“Suatu hari di Jogja saya sempat
heran karena tak seorangpun tukang becak mau mengantar saya ke sebuah
penginapan bagus yang saya tuju. Belakangan saya tahu para tukang becak itu
enggan karena tempat itu tidak pernah memberi mereka komisi.”
Sekitar 20 item tulisan info wisata
itu menuliskan satu fenomena menarik yang terangkum seperti ini. “Orang-orang
di kawasan wisata Indonesia sungguh aneh. Kalau kita tanya suatu tempat, mereka
bilang tempat itu penuh, sudah pindah atau jaraknya jauh sekali atau harus naik
angkutan yang mereka tawarkan dengan harga tinggi. Padahal tempat itu masih
ada, tidak penuh, tidak jorok dan bisa dijangkau dengan naik angkot hanya
dengan Rp 10.000.” Demikian pula kalau kita tanya penginapan tertentu,
mereka bilang tempat itu penuh, jorok, dan layanannya jelek sekali. Padahal,
ketika kami buktikan sendiri, informasi itu berbeda sekali.”
Ketidaknyamanan yang ditimbulkan
oleh individu-individu di kancah pariwisata tak berhenti sampai di situ. “Di
kawasan wisata Rantepao, single female traveller mesti berhati-hati terhadap
anak-anak muda yang suka memelototi Anda dari atas ke bawah dan kemudian
berusaha mengantar kita ke sana dan kemari yang tak jelas maksudnya’. Dan
belum lagi gangguan seperti ini : di berbagai wisatawan asing umumnya jengkel
dengan ulah turis lokal yang tiba-tiba datang dan minta foto bareng. Pernah
pula seorang wisatawan tak bisa duduk tenang menyantap makanan karena
terus-terusan mejanya dikerubuti orang-orang yang ingin praktek Bahasa Inggris.
Lalu ketenangan dan rasa aman apa
yang dicari. Umumnya wisatawan suka orang-orang yang friendly, helpful,
tidak menganggap mereka sebagai sapi perah, dan tidak rip-off. “Seorang
guide yang baik,” tulis Michelin dari Inggris, ‘adalah dia yang terus
bersama Anda, memiliki banyak informasi tentang kawasan wisata itu, tidak minta
tambahan ongkos ini-itu”. Dan mungkin individu dan suasana seperti orang
seperti berikut inilah yang diharapkan para wisatawan, “Di sebuah desa di
pesisir Jawa Barat, kami tinggal di dengan keluarga Jaka. Ia guru bahasa
Inggris dan seorang nelayan yang hebat. Mereka ajak kita memancing ke tengah
laut, dan istrinya pandai sekali memasak ikan tangkapan kita. Keluarga ini
ramah sekali, kami kadang-kadang bermain dengan gembira sepanjang hari di
pantai dengan anak-anak dan para tetangga. Ketika kami harus pergi setelah
tinggal hampir sebulan, kami mencucurkan air mata, bukan karena betapa murahnya
tarif yang ia minta, melainkan karena kami mendapatkan perlakuan seperti
keluarga, menyisakan pengalaman bathin yang amat berharga”
Lalu, masih adakah peluang-peluang
di tengah muramnya pariwisata dunia? Mungkin masih ada. Selain mengeliminasi
sisi-sisi negatif kualitas layanan pariwisata, kita masih punya banyak hal
untuk digali. Sam Silva, wisatawan Australia kelahiran Srilanka, dalam sebuah
obrolan dengan saya di kaki bukit Gunung Ringgit di kawasan Pegunungan Tengger,
mungkin bisa menyimpulkan dengan baik hal-hal yang perlu kita benahi : “Saya
suka tempat ini terutama karena beberapa hal; informasi yang jelas untuk menuju
ke tempat ini, transport mudah dan murah, keasrian alam, penginapan nyaman dan
bersih, lingkungan aman, makanan higienis dan murah, dan orang-orang yang
ramah. Dan satu lagi. Di tempat ini ada internet!”
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !