Headlines News :
Home » » Wajah Pariwisata Kita dalam Catatan Wisatawan Asing

Wajah Pariwisata Kita dalam Catatan Wisatawan Asing

Written By Unknown on Monday, 24 September 2012 | 04:04

Oleh: Eddy Roesdiono

Jika Anda kebetulan berwisata ke Bromo, dan mampir ke Yoschi’s Hotel, sempatkanlah melongok perpustakan mini di depan resepsionis dan pinjamlah tiga bendel file dari rak buku. Bendel itu berisi puluhan lembar kertas dalam folder-folder plastik berisi informasi wisata, ditulis tangan oleh wisatawan asing yang pernah mengunjungi Yoschi’s Hotel antara tahun dari tahun 1990 sampai sekarang. Dari koleksi tulisan itu orang bisa beroleh berbagai informasi tempat wisata, penginapan, rumah makan, transpor dan macam-macam atraksi wisata di Indonesia, termasuk juga tempat-tempat yang perlu dihindari dan individu-individu pelaku bisnis wisata yang perlu dijauhi. Konon koleksi informasi itu digagas oleh Uschi, panggilan Ursel Newiger, perempuan asal Jerman yang menikah dengan Yoyok, asal Probolinggo, pemilik Yoschi’s Hotel. Wisatawan yang umumnya backpackers (ini istilah untuk wisatawan dengan low-budget, yang memilih berwisata dengan cara murah), yang menginap di Yoschi’s diminta menulis pengalaman mereka berwisata di Indonesia. Per item tulisan mendapatkan imbalan segelas free wine.

Informasi wisata itu kebanyakan ditulis dalam Bahasa Inggris, sebagian dalam Bahasa Jerman, dan sebagian kecil lagi dalam Bahasa Prancis, Spanyol, Italia dan Jepang. Tidak semua tulisan berbahasa Inggris dibuat oleh penutur bahasa Inggris. Jadi Anda boleh senyum-senyum kalau kebetulan menjumpai kalimat seperti ini ‘because the sun is very warm, you should carry a head. Warm tentu saja maksudnya ‘hot’ dan ‘head’ mestinya ‘hat’.

Sebagai sebuah kumpulan pernik-pernik informasi, bisa dibilang koleksi itu amat bermanfaat bagi wisatawan lain yang berencana melancong ke tempat yang sama. “Bukit Lawang sungguh fantastis. Selain menyaksikan orangutan, kita juga mengikuti jungle-trek di kawasan Suaka Alam dengan seorang pemandu, melintasi medan alam yang menantang, menyeberangi sungai, bertemu dengan berbagai binatang, dan kita bisa menghilir di sungai berair deras dengan pelampung. Makanan di warung-warung setempat juga luar biasa, sepiring penuh dan harganya murah,” demikian informasi ringan yang bisa ditemukan dari sekitar empat item catatan perjalanan ke Sumatera.

Orang juga bisa berterimakasih pada informasi penting seperti ini. “Dalam perjalanan ke Gunung Semeru, pastikan Anda mengambil air di danau Ranu Pani. Jangan minum air dari danau Ranu Kumbolo, kata orang airnya beracun. Kemudian, mendekati puncak Gunung Semeru, waspadai arah angin. Kalau angin bertiup dari utara, timur-laut, barat-laut atau timur, itu tak masalah. Bila dari arah lainnya, Anda bisa kena gas beracun”.

Tulisan kadang dilengkapi pula dengan peta lokasi (digambar dengan tangan), kartu nama penginapan, restauran atau gerai seni. Kathleen Huntington asal San Francisco malah menghiasi peta wisata route Bromo-Solo hasil karyanya dengan pensil warna dan keterangan sangat informatif tentang jarak tempuh, dan nama-nama tempat yang layak dikunjungi, dan diberinya judul ‘Volcano Lover’s Scenic Route From Yoschi’s to Solo”

Selain dimanfaatkan oleh tamu Yoschi’s sebagai informasi antisipatif untuk tempat-tempat yang akan mereka kunjungi, item-item informasi yang sudah ada sering pula ditimpa dengan komentar lain yang nadanya membenarkan, mengkoreksi, meng-update, atau menambah. Lihat saja, di salah satu halaman, seorang wisatawan menulis bahwa sebuah penginapan di Bogor tidak pernah mengisi termos air panas di kamar hotel mereka. Lalu di dekat tulisan itu ada tulisan lain berbunyi, “that’s not true. It was always filled during our 4-day stay there”. Contoh lain, di dekat sebuah tulisan yang berbunyi ‘Ini penginapan murah dan orang-orangnya ramah-ramah’, terdapat tulisan “benar, tapi tempat tidurnya banyak kutu dan tikus-tikus seukuran kucing berseliweran di depan kamar

Mungkin koleksi informasi wisata itu cuma berfaedah bagi pelancong, tapi bila dicermati, untuk kita, kumpulan informasi itu bisa menjadi semacam cermin wajah pariwisata Indonesia sebenarnya. Ada plus-minus yang bisa dievaluasi oleh pelaku industri pariwisata, badan pemerintah urusan pariwisata, dan ada petunjuk-petunjuk untuk menggali peluang-peluang baru dalam industri pariwisata Indonesia.


Lokawisata Eksotis

Sebagian besar informasi wisata itu melukiskan Indonesia sebagai sebuah lokawisata yang kaya warna, eksotis, enticing, fascinating, inviting. Saskia asal Jerman, dalam dua halaman padat berkisah tentang perjalanan kaki sendirian dari desa Ngadisari (Probolinggo) ke puncak Gunung Semeru, melintasi lautan pasir Tengger. Di tengah perjalanan ia bertemu seorang perempuan asal Swiss berumur 76 tahun. Ia sedang termangu-mangu memandangi hamparan pemandangan Pegunungan Tengger dengan laut pasirnya dari ketinggian. Sesekali Saskia juga bertemu dengan rombongan anak muda berkemah. Mereka kemudian berbagi makanan, sebentar melayani anak-anak itu latihan berbahasa Inggris dan berfoto.

Mencari pengalaman ke tempat-tempat baru merupakan hal paling dicari wisatawan asing. Nicole dari Switzerland, dengan penuh semangat menuliskan pengalaman 4 hari trekking di pedalaman di sekitar Bukittinggi. “Senang sekali bisa melakukan perjalanan ke desa, melihat cara orang memasak, ikutan memetik padi di sawah, dan yang terpenting, menyaksikan langsung kehidupan desa seperti apa adanya, bukan sebagai tontonan yang dipersiapkan untuk turis”. Jurgen dan Armin asal Jerman lain lagi. Mereka rela mengikuti program hiking dan climbing 10 hari di pedalaman Sumatera untuk ‘bertemu’ dengan berbagai macam binatang dan tumbuhan tropis. Dalam catatannya tertulis mereka harus berjalan dengan tembakau yang disumpalkan di kos kaki agar tidak digerogoti lintah, naik turun gunung dan lembah, dan semuanya menyenangkan.

Bisa dimengerti kalau wisatawan asing terpukau pada sisi-sisi elok Indonesia di luar yang ditulis di buku-buku panduan wisata. Catherine dan Gerry dari Irlandia, seusai berwisata di Sumatera Utara, meneruskan perjalanan mengikuti kata hati ke selatan dan sampai di Painan (Sumatera Barat). Mereka mengatakan Painan adalah sebuah desa kecil di pinggir pantai. Dari pantai, oleh nelayan setempat mereka diantar ke pulau-pulau di sekitarnya dan sempat membuat foto reruntuhan bangunan dan kuburan orang-orang Portugis, dan mereka bilang ini perjalanan yang extraordinary.

Margriet dan Willem dari Belanda, naik ferry dari Padang ke Pulau Siberut dan mengikuti trekking selama 10 hari menjelajah pedalaman pulau Siberut melintasi jalan berlumpur, sungai, perbukitan, mandi di air terjun dan tinggal dengan orang-orang Mentawai. “Mandi di bawah air terjun yang sejuk luar biasa asyiknya,” komentar mereka.


Makanan Dan Penginapan

Mengeksplorasi makanan tradisional Indonesia juga merupakan agenda tersendiri bagi wisatawan asing. “Gado-gado di Sosrowijawan, rasanya selangit, paling top sedunia,” tulis Jim dari Inggris yang baru saja berwisata di Jogja. Eden Inn di Bukit Lawang, misalnya mendapatkan nama harum karena fruit salad-nya yang dinilai wisatawan asing sebagai ‘kolosal’.

Pisang goreng di homestay Pak Tasrip di Ranu Pani, kaki Gunung Semeru tak terbayangkan lezatnya. The best in Indonesia,” tulis Vera Reusen dari Antwerpen, Belgia.

Soal penginapan, sebenarnya selera wisatawan backpackers tak serumit yang diperkirakan. Mereka cuma butuh kamar tidur bersih, suasananya tenang, lingkungannya baik, dan orang-orang di sekitarnya ramah dan tak segan membantu.

Menginaplah di Dewi Inn, kamar mandinya bau deterjen, tidak pesing, dan bebas kecoa,” tulis seorang wisawatan.

Kalau ke Lombok, hindarilah P Bungalows. Ini benar-benar penginapan jorok. Lima orang wisatawan kena radang mata dalam sehari karena kamar mandinya kotor. Dan musik disetel keras-keras sampai jam dua malam,” keluh Cathie Matthews, single female traveller dari Australia, mencoba mengingatkan wisatawan lain untuk berhati-hati memilih penginapan.

Di Ubud, tinggallah di homestay-homestay yang berdiri di tengah sawah. Benar-benar bersuasana alam tiada duanya, damai dan sejuk, pemandangannya luar biasa indah,” demikian Ulrika asal Swedia. “Hanya saja, Anda perlu bawa cairan anti mozzies (ini plesetan baru untuk kata ‘mosquitoes’) kalau tidak ingin menjadi donor darah semalaman


Pelaku Bisnis Pariwisata

Rasa aman selama berwisata mendapatkan porsi catatan cukup besar dalam koleksi informasi wisata itu.. Rasa aman itu mencakup aman dari gangguan kejahatan, gangguan pengelola wisata, orang-orang di sekitar tempat wisata, dari wisatawan lokal.

Kejahatan, berdasarkan catatan mereka, tak banyak dialami, kecuali satu wisawatan yang arlojinya disambar orang hanya dalam waktu sepuluh detik di atas bis kota yang padat di Jakarta. Yang paling menganggu justru adalah pengelola wisata (pemandu wisata, pengelola hotel, supir angkutan umum, dan orang-orang yang mencari keuntungan sesaat dari wisatawan). ‘Hotel R di Makasar benar-benar rip-off (brengsek). Waktu check-in dia bilang tarif kamar Rp 150.000, waktu check-out kami dikenakan Rp 200.000, dan dia menahan barang bawaan kami waktu kami menolak membayar kelebihan itu,” ujar wisatawan yang tidak menuliskan identtas itu.

Kalau ke Medan hati-hatilah dengan pemandu wisawata bernama J. Dia suka membuat cewek-cewek bule teler dengan minuman keras dan mengajaknya tidur,” tulis Sabine asal Belgia, yang dibenarkan oleh beberapa tulisan lain mengenai orang bernama J dengan penginapannya ‘J Hotel and Restaurant’. Begitu notorious-nya si J ini di mata wisawatan asing sampai ketika ia sudah mengubah nama hotelnya menjadi ‘K Palace’, wisatawan tetap tahu ulahnya, dan kartu nama ‘K Palace’ yang tertempel di koleksi informasi wisata itu penuh caci-maki macam ‘a rip-off, fucker, rapist, bastard

Di Jogja, hati-hati dengan seorang pemuda yang pura-pura jadi mahasiswa seni dan menawarkan lukisan. Kami dibujuknya membeli lukisan seharga Rp 400.000 padahal di toko seni barang itu cuma Rp 100.000. Bangsat benar dia itu.’ maki seorang wisawatan melalui tulisannya. Tulisan-tulisan dengan nada serupa banyak pula dalam info wisata itu. Misalnya turis yang dipepet seorang pemuda yang berbisik dengan gaya sembunyi-sembunyi bahwa ia bisa memberi potongan harga untuk sepotong batik di tempatnya sampai 20%. Setelah membeli, barulah wisatawan tahu batik seperti itu bisa didapatkan dengan harga lebih murah 80% daripada uang yang baru saja ia keluarkan.

Ketidakpastian yang sengaja ditebarkan oleh oknum-oknum pelaku bisnis pariwisata untuk kepentingan sendiri telah menyumbangkan nilai negatif pada sisi pelayanan. Dan ini terjadi hampir di segala penjuru lokawisata di Indonesia sebagai buah persaingan yang tidak sehat.

Suatu hari di Jogja saya sempat heran karena tak seorangpun tukang becak mau mengantar saya ke sebuah penginapan bagus yang saya tuju. Belakangan saya tahu para tukang becak itu enggan karena tempat itu tidak pernah memberi mereka komisi.”

Sekitar 20 item tulisan info wisata itu menuliskan satu fenomena menarik yang terangkum seperti ini. “Orang-orang di kawasan wisata Indonesia sungguh aneh. Kalau kita tanya suatu tempat, mereka bilang tempat itu penuh, sudah pindah atau jaraknya jauh sekali atau harus naik angkutan yang mereka tawarkan dengan harga tinggi. Padahal tempat itu masih ada, tidak penuh, tidak jorok dan bisa dijangkau dengan naik angkot hanya dengan Rp 10.000.” Demikian pula kalau kita tanya penginapan tertentu, mereka bilang tempat itu penuh, jorok, dan layanannya jelek sekali. Padahal, ketika kami buktikan sendiri, informasi itu berbeda sekali.”

Ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh individu-individu di kancah pariwisata tak berhenti sampai di situ. “Di kawasan wisata Rantepao, single female traveller mesti berhati-hati terhadap anak-anak muda yang suka memelototi Anda dari atas ke bawah dan kemudian berusaha mengantar kita ke sana dan kemari yang tak jelas maksudnya’. Dan belum lagi gangguan seperti ini : di berbagai wisatawan asing umumnya jengkel dengan ulah turis lokal yang tiba-tiba datang dan minta foto bareng. Pernah pula seorang wisatawan tak bisa duduk tenang menyantap makanan karena terus-terusan mejanya dikerubuti orang-orang yang ingin praktek Bahasa Inggris.

Lalu ketenangan dan rasa aman apa yang dicari. Umumnya wisatawan suka orang-orang yang friendly, helpful, tidak menganggap mereka sebagai sapi perah, dan tidak rip-off. “Seorang guide yang baik,” tulis Michelin dari Inggris, ‘adalah dia yang terus bersama Anda, memiliki banyak informasi tentang kawasan wisata itu, tidak minta tambahan ongkos ini-itu”. Dan mungkin individu dan suasana seperti orang seperti berikut inilah yang diharapkan para wisatawan, “Di sebuah desa di pesisir Jawa Barat, kami tinggal di dengan keluarga Jaka. Ia guru bahasa Inggris dan seorang nelayan yang hebat. Mereka ajak kita memancing ke tengah laut, dan istrinya pandai sekali memasak ikan tangkapan kita. Keluarga ini ramah sekali, kami kadang-kadang bermain dengan gembira sepanjang hari di pantai dengan anak-anak dan para tetangga. Ketika kami harus pergi setelah tinggal hampir sebulan, kami mencucurkan air mata, bukan karena betapa murahnya tarif yang ia minta, melainkan karena kami mendapatkan perlakuan seperti keluarga, menyisakan pengalaman bathin yang amat berharga”

Lalu, masih adakah peluang-peluang di tengah muramnya pariwisata dunia? Mungkin masih ada. Selain mengeliminasi sisi-sisi negatif kualitas layanan pariwisata, kita masih punya banyak hal untuk digali. Sam Silva, wisatawan Australia kelahiran Srilanka, dalam sebuah obrolan dengan saya di kaki bukit Gunung Ringgit di kawasan Pegunungan Tengger, mungkin bisa menyimpulkan dengan baik hal-hal yang perlu kita benahi : “Saya suka tempat ini terutama karena beberapa hal; informasi yang jelas untuk menuju ke tempat ini, transport mudah dan murah, keasrian alam, penginapan nyaman dan bersih, lingkungan aman, makanan higienis dan murah, dan orang-orang yang ramah. Dan satu lagi. Di tempat ini ada internet!”


**diunggah dari : ekonomi.kompasiana.com
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bogor Geulis - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template